Sunday, July 08, 2007

I did that becoz i love her/him ????

"itu karena aku sayang dia "

Mungkin udah lebih dari seratus kali aku dengar kalimat ini dilontarkan oleh teman2ku.
Dan setiap aku mendengar kalimat ini disebutkan dalam rangka pengesahan sebuah tindakan yang dilakukan kepada orang yang disayangi, aku selalu menimpalinya pertama kali dengan kalimat :
"kamu sayang dia atau sayang dirimu sendiri ?"

hari ini pun aku mengeluarkan pertanyaan seperti ini di dalam sebuah sms kepada seorang temanku yang sedang bertengkar dengan pacarnya...

Memang harus diakui.. cukup gampang untuk mengesahkan sebuah tindakan/sikap egoistis diri sendiri kepada orang lain dengan alasan "karena aku sayang dia", apalagi jika tindakan/sikap tersebut diarahkan kepada kerabat dekat seperti pacar, istri, suami, adik, kakak dsb.

hebatnya, kalimat yang pertama kutulis diatas,bisa dengan mudah "menipu" mata kita sendiri dari ego pribadi.

pertanyaan berikutnya dalam smsku : "kalau memang kamu lakukan hal tersebut karena kamu sayang dia, kenapa kalian bisa bertengkar ?? oh come on, akui sajalah.. kamu lakukan hal itu karena sebenarnya kamu sayang dirimu sendiri, dan dia marah, karena dia juga sayang dirinya sendiri "

oke... lalu apa salahnya sih kalau kita sayang pada diri sendiri ? tidak berhak kah kita untuk sayang pada diri sendiri ?
jawabannya simpel..
tidak salah, kita berhak menyayangi diri sendiri, tapi ya jangan kemudian melabeli tindakan yang didasari perasaan sayang pada diri sendiri dengan "karena aku sayang dia" dong.
ngga fair kan ?

label seperti itu malah seringkali menjebak diri sendiri. jebakan yang akhirnya menjurus kepada pertengkaran antara dua pihak yang saling menyayangi... (they say)

padahal, tanpa label tersebut, kita lebih mudah menyadari kesalahan-kesalahan di dalam ego kita. dan kemudian tentu saja dengan lebih cepat membereskan komunikasi.

5 comments:

Anonymous said...

Tapi,
menyayangi diri sendiri itu
seringnya berupa
tindakan memanjakan diri sendiri,
hal mana justru
seringkali merusak kita sendiri.

Misalnya karena ga mau merasa susah
atau ga mau pusing banyak masalah,
lantas memanjakan diri dengan mabuk
Bisa mabuk miker, mabuk rokok, mabuk obat (nge-drug) dlsb.

Kayanya,
ga mungkin deh prestasi kita raih
dengan cara memanjakan diri sendiri
dimana memanjakan diri itu diartikan berleha-leha
alias bersenang-senang saja.

Karena untuk kesuksesan itu
butuh perjuangan dan pengorbanan,
alias "tidak memanjakan diri".

Bahkan pelawak saja yang terlihat
banyak tertawa bersenang-senang
sebetulnya sedang bekerja keras
memproduksi tingkah lucu
sambil harus terlihat spontan dan
tidak dibuat-buat.

Anonymous said...

*Dua orang yang baik, tapi, mengapa perkawinan mereka tidak berakhir bahagia ?*

Di masa awal perkawinan, saya
juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci
dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara
perkawinan sendiri. Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku
sendiri, sepertinya juga tidak bahagia. Saya merenung, mungkin lantai kurang
bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi,
dan memasak dengan sepenuh hati.

Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. Hingga suatu hari,
ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata : istriku,
temani aku sejenak mendengar alunan musik! Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di pel ? Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat
tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata begitu sama ayah.

Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka. Ada beberapa
kesadaran muncul dalam hati saya.
Aku harus bertanya kepadanya:
Yang kamu inginkan ?

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah saya. Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkawinannya. Waktu ibu menyikat panci, lebih lama daripada waktu ibu untuk menemaninya.
Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam
mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun,
jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga.

Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku. Cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita
berjudul " dua orang yang baik mengapa tidak memiliki perkawinan
yang bahagia ?"

Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sangat penting.

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai yang masih kotor sedikit lagi itu,
saya bertanya pada suamiku : apa yang paling kau butuhkan ?
Suamiku mnjawab:
Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.

Tapi..Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencucikan pakianmu?.dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang
kukira dibutuhkannya. Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling penting dan paling
kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.
Hah...Ternyata sia-sia semua
pekerjaan yang saya lakukan selama ini ? Fakta itu benar-benar membuat saya terkejut.
Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia tuk membahagiakanku.
Ternyata kami memiliki cara masing-masing dalam mencintai, namun cara itu bukannya cara yang tepat untuk membahagiakan pasangan tercinta.

Jalan kebahagiaan

Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya
di atas meja buku. Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah
daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti
misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling
memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila
berangkat.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit,
misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar. Ini adalah kebutuhan suami.
Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak
seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada
saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai
tuntas, demikian juga ketika salah jalan.

Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh
lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini,
perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup. Saat
saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya
menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan
keluar kota.

Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami,
setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa
menghibur gejolak hati masing-masing.

Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan
kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan,
kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai
bertahun-tahun silam.

Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini telah
menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya
akhirnya melangkah ke jalan bahagia.

Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka
terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua,
bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua.

Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat
merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga
sudah kecewa dan hancur. Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka
menurut saya, setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang
bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang
dibutuhkan pihak kedua! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri,
perkawinan yang baik, pasti dapat diharapkan.

sumber : unknown

Anonymous said...

Memang tidak ada yang salah dengan menyayangi diri sendiri. Karena pada dasarnya orang yang dapat menyayangi orang lain itu diawali dengan menyayangi dirinya terlebih dahulu.
Jika telah mampu menyayangi dengan dirinya, barulah pantas menyayangi orang lain.

"itu karena aku sayang dia "
seperti kata-kata itu menggambarkan pembelaan dirinya dari kesalahan yang dibuat terhadap pasangannya.

Bagaimana aku melakukan sesuatu,itu karena aku sayang dia.
Bagaimana dengan dia melakukan sesuatu, itu karena aku sayang dia.

Semuanya itu kembali lagi dari apa yang telah diberikan dan apa yang telah diterima. Take and Give.

Anonymous said...

Tapi ada benarnya kalau qta suka ngga sadar untuk memaksakan kehendak dengan alasan karena sayang. ironisnya, pemaksaan kehendaknya terjadi justru kepada orang yang memang kita sayangi dan kasihi. Yang begitu terjadi pertengkaran, hati malah terasa lebih hancur dan emosi lebih gampang panas.

Tulisan kamu 8erz, sebenarnya masih terusan dari serial refleksi diri bukan ?

Anonymous said...

Ciri-cirinya
kalau benar-benar sayang,
maka pasti dia tidak memenuhi semua keinginan sang pacar demi kemanjaan nya semata,
kalau itu justru akan merusak sang pacar dalam bentuk apapun, maka pasti tidak akan dilakukannya, sekalipun akan membuat sang pacar cemberut setngah mati..hahaha..

Jadi, kalau benar-benar sayang, maka justru bukan bagai kerbau dicocok hidung, gitu loh..